Mengendalikan Risiko Dengan “RISK TRANSFER” Dalam Proyek Konstruksi
Risiko memang
dapat ditransfer…bentuknya dapat bermacam-macam. Risk Transfer adalah
salah satu strategi penanganan risiko. Tapi jangan sampai salah kaprah
dengan mengalihkan keseluruhan risiko kepada pihak lain, karena justru
akan menyulitkan diri sendiri.
Lalu apa saja bentuk dari risk transfer tersebut? Ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam rangka risk transfer, yaitu:
1. Asuransi.
Telah kita ketahui bahwa terdapat begitu banyak risiko yang terdapat dalam
proyek terlebih pada proyek konstruksi. Risiko proyek yang tidak
dikelola dengan baik akan menyebabkan proyek menjadi gagal. Risiko
proyek harus dikendalikan berdasarkan level dan prioritasnya.
Pengendalian risiko akan membuat tim proyek percaya diri dalam
melaksanakan proyek. Tim proyek tak perlu terlalu pusing jika risiko
terjadi karena telah diantisipasi.
Dalam menangani risiko ada suatu kaidah penting yaitu bahwa risiko
harus dipahami sebagai suatu hal yang alamiah terjadi. Risiko akan lebih
baik diindentifikasi seawal mungkin berdasarkan fase siklus hidup
proyek. Di samping itu bahwa risiko haruslah diantisipasi. Dalam hal
antisipasi risiko, faktor yang paling penting adalah mengalokasi risiko
yang telah diidentifikasi secara sesuai kepada pihak-pihak yang paling
mampu untuk mengatasinya. Inilah strategi penanganan risiko yang paling
jitu selama ini yang dikenal dengan istilah risk transfer.
Risk transfer adalah suatu proses yang mengalihkan risiko yang telah
diidentifikasi kepada pihak lain yang terlibat dalam pelaksanaan suatu
proyek. Seperti yang telah disebutkan bahwa prinsip utama dalam
mengalihkan risiko adalah dengan memperhatikan kesesuaian atau kemampuan
pihak-pihak yang terlibat yang akan menerima risiko tersebut. Kenapa?
Karena memang pada dasarnya risiko sudah memiliki tuannya sendiri.
Menempatkan risiko tidak pada tuan yang sebenarnya, akan berdampak pada
tidak terkendalikannya risiko tersebut atau risiko tersebut akan kembali
lagi pada tuannya yang sebenarnya.
Contoh sederhana adalah pada kasus keterlambatan pembayaran oleh owner
kepada kontraktor. Seringkali owner memaksakan diri membayar selama
mungkin dalam klausa term of payment di kontrak. Jika pembayaran yang
normal adalah setiap bulan dan dilaksanakan H+7 hari setelah kuitansi
pembayaran diterima, biasanya owner menawar dengan H+30 hari atau bahkan
H+45 hari. Padahal kita ketahui bahwa kontraktor adalah perusahaan jasa
konstruksi dan bukanlah perusahaan jasa keuangan. Sehingga term of
payment tersebut akan dihitung kontraktor sebagai biaya atau cost of
money. Bunga akibat lambatnya proses pembayaran akan diperhitungkan.
Jika owner berharap akan mendapatkan bunga deposito dengan menahan
pembayaran ke kontraktor, maka ini berlaku sebaliknya karena kontraktor
akan memperhitungkan bunga dalam bentuk bunga pinjaman. Pada akhirnya
biaya tersebut kembali lagi ke owner dan bahkan dalam bentuk yang lebih
besar. Risiko akhirnya kembali pada tuannya karena risiko pembayaran
adalah tanggung jawab owner bukan kontraktor.
Lain halnya pada kasus kenaikan harga atau inflasi. Seringkali di
kontrak, owner membuat draft kontrak bahwa kenaikan harga sepenuhnya
ditanggung oleh kontraktor, apapun alasannya. Kita ketahui bahwa
kenaikan harga material bukanlah dibawah kendali kontraktor. Ini perlu
ditegaskan karena ada beberapa pelaku proyek yang pernah mengatakan
bahwa kontraktor adalah pihak yang telah mengetahui informasi kenaikan
harga material. Ini pendapat yang perlu diluruskan. Kalaupun kontraktor
mengetahui, belum tentu tahu berapa besaran kenaikan harga tersebut.
Jika klausul kontrak tersebut tidak dapat diubah, maka kontraktor akan
mengasumsikan dengan asumsi yang paling aman atas kemungkinan kenaikan
harga material yang seringkali menjadi terlalu tinggi. Akibatnya, harga
menjadi terlalu tinggi. Siapa yang menanggung harga tersebut, jawabnya
adalah owner. Sekali lagi risiko akan kembali pada tuannya yang
sebenarnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, perlu bagi kita untuk berlaku bijaksana
mengenai alokasi risiko. Pihak-pihak yang terlibat dalam proyek
haruslah paham mengenai prinsip tersebut. Alokasi risiko haruslah
diberikan pada pihak yang paling mampu untuk mengendalikan risiko
tersebut atau dalam bahasa sederhana bahwa risiko harus dikembalikan
kepada tuannya. Kesalahan dalam melakukan alokasi risiko akhirnya akan
berdampak pada kerugian yang seringkali lebih besar. Jika risiko
tersebut aspeknya adalah biaya, maka biaya yang muncul tersebut bisa
dikatakan hidden cost yang tidak disadari. Dapat disimpulkan bahwa
menempatkan risiko kepada pihak yang tepat akan membuat biaya
pelaksanaan menjadi lebih murah.
Lalu apa saja bentuk dari risk transfer tersebut? Ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam rangka risk transfer, yaitu:
Memindahkan risiko ke pihak asuransi adalah tindakan risk transfer yang
telah sering dilakukan. Prinsip utama dalam melakukan asuransi terhadap
risiko adalah bahwa risiko tersebut tidak dapat dikendalikan dan
dihitung besarannya oleh kontraktor. Seperti bencana alam, kecelakaan
kerja, kehilangan, dan lain-lain. Risiko yang dialihkan kepada pihak
asuransi adalah risiko yang tidak satupun pihak lain dalam proyek yang
mampu untuk mengatasinya. Risiko ini harus ditanggung oleh kontraktor
dan kontraktor harus pula mengalihkannya sebagai bagian dari manajemen
risiko kepada pihak asuransi. Kenapa dialihkan kepada pihak
asuransi?pertama, jika kontraktor yang menanggungnya, maka asumsi biaya
atau risk contigency menjadi tinggi. Bayangkan bila kontraktor
mengasumsikan biaya bencana alam seperti tanah longsor akibat kejadian
pekerjaan galian pada musim hujan. Biayanya tentu sangat besar padahal
kejadian tersebut sebenarnya bersifat probabilistik. Kedua, pihak
asuransi adalah pihak yang ahli dalam mengelola risiko dengan
karakteristik seperti itu. Pihak asuransi akan mengasuransikan sejumlah
proyek atas risiko-risiko tersebut dengan fee tertentu. Risiko tersebut
akan terjadi hanya pada 1 atau 2 proyek saja. Sehingga dari sekian
banyak proyek yang dicover, fee yang terkumpul akan mampu membiayai
risiko yang terjadi. Pihak asuransi mengambil keuntungan atas
perhitungan probabilitas kejadian risiko dan fee tersebut. Pada
akhirnya, biaya risiko menjadi sangat kecil untuk diperhitungkan dalam
harga proyek karena telah dikelola oleh pihak asuransi.
2. Mensubkontraktorkan.
Tindakan ini juga sering dilakukan oleh kontraktor. Dengan melakukan
subkontraktor, maka pekerjaan yang sulit dan membutuhkan spesialisasi
akan dikerjakan oleh subkontraktor termasuk risiko-risiko yang mungkin
terjadi di dalamnya. Risiko tersebut, biasanya mampu diatasi oleh
subkontraktor dengan baik dibandingkan oleh kontraktor sendiri. Dengan
demikian, terjadinya risiko tidak membuat kontraktor dan subkontraktor
rugi. Apabila pekerjaan yang sulit dan membutuhkan spesialisasi tersebut
dikerjakan oleh kontraktor, maka kontraktor akan berpeluang mendapatkan
kerugian. Jika biaya risiko tersebut diperhitungkan dalam harga kontrak
maka harga kontrak akan naik atau proyek menjadi lebih mahal, disamping
ada potensi pekerjaan terlambat dengan mutu yang tidak sesuai target.
Melakukan subkontraktor juga adalah tindakan dalam rangka mengatasi
kompleksitas proyek. Pekerjaan proyek akan dilakukan lebih mudah jika
banyak pekerjaan yang telah disubkontraktorkan.
3. Mengubah klausul kontrak.
Seperti yang kita ketahui bahwa klausul kontrak adalah media yang
mengatur alokasi risiko. Jika terdapat dalam klausul kontrak akan
alokasi risiko yang tidak sesuai atau tidak tepat yang dapat berdampak
pada kegagalan proyek, maka masing-masing pihak yang terlibat dalam
kontrak harus bernegosiasi dalam mengubah klausul kontrak tersebut.
Post a Comment